Ketahuilah, ibadah bukanlah produk akal atau perasaan manusia. Ibadah
merupakan sesuatu yang diridhoi Alloh, dan engkau tidak akan mengetahui
apa yang diridhoi Alloh kecuali setelah Alloh kabarkan atau dijelaskan
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Dan seluruh kebaikan telah
diajarkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, tidak tersisa
sedikit pun. Tidak ada dalam kamus ibadah sesorang melaksanakan sesuatu
karena menganggap ini baik, padahal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah mencontohkan. Sehingga tatkala ditanya, “Mengapa
engkau melakukan ini?” lalu ia menjawab, “Bukankah ini sesuatu yang
baik? Mengapa engkau melarang aku dari melakukan yang baik?” Saudaraku,
bukan akal dan perasaanmu yang menjadi hakim baik buruknya. Apakah
engkau merasa lebih taqwa dan sholih ketimbang Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Ingatlah sabda Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam , “Barangsiapa yang melakukan satu amalan
(ibadah) yang tiada dasarnya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim)
Perhatikan kisah dibawah ini :
Pernah datang tiga orang shahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam ke
rumah istri-istri beliau guna menanyakan tentang ibadah beliau. Tatkala
diberitahukan kepada mereka, mereka menganggapnya kecil dan mereka
berkata : “Apa kedudukan kita dibanding Nabi shallallahu alaihi
wasallam, beliau telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang
belakangan.” Berkata salah seorang dari mereka : “Aku akan shalat
sepanjang malam tanpa tidur selamanya.” Yang kedua berkata : “Aku akan
berpuasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka.” Yang terakhir berkata
: “Aku akan menjauhi wanita maka aku tidak akan menikah selamanya.”
Lalu datanglah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ucapan-ucapan
mereka disampaikan kepada beliau, maka beliau bersabda : “Apakah kalian
yang
mengatakan begini dan begitu ?! Ketahuilah! Demi Allah,
aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dibanding kalian dan
paling bertakwa kepada-Nya, akan tetapi aku puasa dan aku berbuka, aku
shalat dan aku tidur, dan aku juga menikahi wanita. Siapa yang benci
(berpaling) terhadap sunnahku maka ia bukan dari golonganku
(orang-orang yang menjalankan sunnahku).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalau kita lihat keberadaan tiga orang ini maka kita dapatkan niatan
mereka yang baik yaitu untuk bersungguh-sungguh melakukan ibadah kepada
Allah, namun apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menyetujui
perbuatan mereka? Jawabannya bisa kita lihat dari pernyataan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
Benar sekali
apa yang diucapkan oleh shahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
anhu : “Sederhana dalam sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh
dalam perbuatan bid’ah.”
Orang-orang yang
mengadakan bid’ah itu walaupun niatnya baik tetap tertolak dengan dalil
hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam : “Siapa yang mengada-adakan
sesuatu amalan di dalam urusan (agama) kami ini dengan yang bukan
bagian dari agama ini maka amalan itu tertolak.” (HR. Bukhari dan
Muslim dalam Shahih keduanya)
Kisah ke 2 :
Dari Sa’id bin Musayyab Radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia melihat seseorang
mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu
beliau melarangnya. Maka orang tersebut berkata, “Wahai Abu Muhammad
(nama panggilan Sa’id bin Musayyab), apakah Allah akan menyiksa saya
karena shalat?” Ia menjawab : “Tidak, tetapi Allah akan menyiksa kamu
karena menyalahi Sunnah” (HR Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra II/466,
Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih I/147, Abdurrazzaq
III/52, Ad-Darimi I/116 dan Ibnu Nashr : 84 dengan sanad Shahih.)
Kisah ke 3
Sufyan bin Uyainah berkata, “Saya mendengar bahwa seseorang datang
kepada Malik bin Anas Radhiyallahu ‘anhu lalu berkata, “Wahai Abu
Abdullah (nama panggilan Malik), dari mana saya ihram?” Ia berkata,
“Dari Dzulhulaifah, tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ihram” Ia berkata, “Saya ingin ihram dari masjid dari samping makam
(nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Ia berkata, “Jangan kamu
lakukan. Sebab saya mengkhawatirkan engkau tertimpa fitnah”, Ia
berkata, “Fitnah apakah dalam hal ini? Karena aku hanya menambahkan
beberapa mil saja!” Ia berkata, “Fitnah manakah yang lebih besar
daripada kamu melihat bahwa kamu mendahului keutamaan yang ditinggalkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sesungguhnya Allah berfirman,
“Maka hendaklah orang –orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih [Qur’an surat An-Nuur :
63],
HR Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqih
I/148, Abu Nu’aim dalam Al-hilyah VI/326, Al-Baihaqi dalam Al-Madhal :
236, Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah : 98 dan Abu Syamah dalam Al-Ba’its
: 90 yang disandarkan kepada Khallal.
Dan betapa
indahnya apa yang ditulis Imam Umar bin Abdul Aziz rahimahullah kepada
sebagian gubernurnya ketika mewasiatkan mereka untuk menghidupkan
sunnah dan mematikan bid’ah. Saya mewasiatkan kepdamu agar bertakwa
kepada Allah, sederhana dalam melaksanakan perintahNya serta mengikuti
sunnah RasulNya dan meninggalkan hal-hal baru yang dibuat orang-orang
yang setelahnya dalam sesuatu yang telah berlaku sunnahnya dan
cukupkanlah dengannya.
Ketahuilah, bahwa tidaklah
seorang melakukan bid’ah melainkan telah datang sebelumnya dalil yang
menyalahkannya dan telah datang pula pelajaran yang menunjukkan
kebid’ahan perbuatan tersebut. Maka hendaklah kamu memegang teguh
sunnah. Sebab sesungguhnya sunnah itu akan melindungimu dengan izin
Allah.
Ketahuilah, bahwa orang yang melakukan
sunnah akan mengetahui bahwa melanggarnya akan mengakibatkan kesalahan,
tergelincir dan kedunguan. Sebab orang-orang yang dahulu menyikapinya
dengan ilmu, dan dengan pandangan yang tajam, mereka menganggap cukup.
Mereka adalah orang yang paling kuat dalam mengkaji, namun mereka tidak
mencari-cari. [Al-Ibanah No. 163 dan Syarah Ushul As-Sunnah No. 16
Kesimpulannya, dalam pemahaman syari’at adalah bahwa segala sesuatu
yang berkaitan dengan ibadah harus semata-mata berdasarkan perintah
(tauqifiyah), dan tidak disyariatkan kecuali dengan nash yang
ditentukan Allah sebagai hukumnya. Karena terjaminnya ittiba dari
membuat bid’ah dan menolak kekeliruan dan hal yang baru diadakan.
[Marwiyyat Du’a Khatmil Qur’an 11-12 Syaikh Bakr Abu Zaid]
Terhadap berbagai pertanyaan tentang keabsahan ritual suatu ibadah,
cukup dengan jawaban: Jika memang ada contoh serta tuntunan dari Rasul
saw (nash/dalil shahih), maka sah hukumnya. Oleh karenanya sangat
diperlukan studi hadits guna mengenal dan memahami sifat-sifat serta
derajad kesahihan suatu hadits. Karena yang sering terjadi adalah kita
memegang dan meyakini suatu hadits, tapi tidak disertai dengan
pemahaman terhadap kesahihan hadits tersebut.
Wallahu ta’ala a’lam bish showab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar